ANALISIS SWOT PEREMPUAN DAN POLITIK DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN


ANALISIS SWOT PEREMPUAN DAN POLITIK DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN PADA PEMILU 2014

Oleh Ari Pradhanawati

Dosen Program Doktor Ilmu Sosial FISIP UNDIP/Anggota KPU Jawa Tengah 2003-2008

Makalah disampaikan dalam Pendidikan Politik Bagi Perempuan 28 Mei 2013 di Salatiga yang Diselenggarakan oleh Badan Kesbang Pol dan Linmas Provinsi Jawa Tengah



A. PENDAHULUAN

Setiap menjelang pesta demokrasi, perempuan di Indonesia selalu mendapat kejutan-kejutan yang sangat berarti. Dimulai sejak Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 tentang kuota perempuan sekurang-kurangnya 30% baik yang duduk sebagai pengurus partai politik, sebagai calon anggota KPU maupun sebagai calon anggota DPR/DPRD. Sejak saat itulah perempuan Indonesia yang selama ini tidak sadar kalau sudah terkena getar gender (genderquake) mulai bangkit untuk memperjuangkan kebijakan affirmative action.
Kemudian menjelang Pemilu 2014, kaum perempuan kembali mendapat kesempatan lagi bahwa parpol peserta pemilu harus memenuhi syarat untuk menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat (UU No.8/2012, pasal 15 huruf d) dan pencalonan anggota DPR/D (UU No 8/2012 pasal 55).
Selanjutnya pengajuan calon legislatif (caleg) perempuan disusun dengan model zipper (UU No. 8/2012, pasal 56 ayat 2), misalnya nomor urut 1 caleg laki-laki, nomor urut 2 caleg perempuan, nomor urut 3 caleg laki-laki; atau nomor urut 1 caleg perempuan, nomor urut 2 dan 3 caleg laki-laki; atau nomor urut 1 dan 2 caleg laki-laki, nomor urut 3 caleg perempuan, dan seterusnya untuk nomor urut 4, 5, 6, nomor urut 7,8, 9, nomor urut 10, 11, 12 minimal harus ada 1 orang caleg perempuan.
Ketentuan model zipper dinilai oleh caleg perempuan cukup akomodatif apabila mendapat nomor urut 1, karena dipastikan mempunyai peluang yang besar untuk memperoleh kursi terutama jika diajukan oleh parpol besar, tetapi dapat nomor urut berapa pun bagi caleg perempuan tidak masalah karena penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak (UU No 8/2012 pasal 215 ayat a).
Kita patut bangga dan menghargai atas perjuangan kaum perempuan di legislatif, para aktivis perempuan dan para feminis yang menginginkan semua pihak bersedia mendukung affirmative action  dengan harapan agar ada perimbangan antara laki-laki dengan perempuan di lembaga legislatif maupun lembaga-lembaga pengambilan keputusan, sehingga kebijakan-kebijakan publik/politik tidak akan bias jender tetapi justru akan mendinginkan suhu politik yang semakin hari kian memanas.
 Mengapa kaum perempuan perlu kuota tertentu? Mengapa kuota sebesar 30% masih perlu ditingkatkan?


B. PEMBAHASAN

Kuota merupakan istilah yang bersifat emosional, mengundang reaksi keras dari mereka yang terikat dengan pandangan konservatif dalam meningkatkan level playing flied, yaitu, membiarkan keberadaan hasil yang tidak imbang seperti apa adanya. Apakah kuota dianggap adil atau tidak akan sangat tergantung pada apakah persepsi orang terhadap keadilan sebagai ”kesempatan yang adil” atau ”hasil yang adil”. Beberapa kuota yang berhasil diperkenankan adalah kuota sukarela, diterapkan oleh partai poltik untuk menunjukkan komitmennya terhadap keterwakilan perempuan. Contohnya adalah komitmen ANC di Afrika Selatan untuk memberikan 30% kuota bagi kandidat perempuan. Dan sukses besar dicapai melalui kuota wajib yang dituangkan baik dalam konstitusi atau Undang-Undang Pemilu (IFES, tt:17-18).
Dengan demikian adalah suatu kewajaran pula andaikata kaum perempuan di Indonesia memperjuangkan dan memperoleh kuota tertentu, karena selama ini perempuan sepertinya sengaja dimarginalkan oleh kaum laki-laki khususnya untuk duduk sebagai anggota legislatif maupun jabatan-jabatan publik lainnya.
Kesempatan perempuan untuk terjun dalam dunia politik, yaitu dengan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif, merupakan hal yang positif. Keterlibatan mereka yang semakin besar dalam kancah politik dan kesempatan mereka yang lebih terbuka untuk menjadi calon anggota legislatif akan memungkinkan mereka ikut serta secara lebih leluasa melakukan pendidikan politik kepada warga negara.
Dengan terbukanya kesempatan yang lebih besar bagi kaum perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif ini akan menjadikan kaum perempuan semakin mudah memperjuangkan hak-haknya yang selama ini diremehkan kaum laki-laki. Tentu banyak persoalan lain yang menyangkut keperempuanan yang selama ini belum digarap dengan tuntas, akan memungkinkan diselesaikan secara substansial dan serius.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terwujudnya keterwakilan perempuan yang selama ini diperjuangkan kaum perempuan di Indonesia, antara lain adalah : (1) sistem pemilu; (2) peran partai-partai politik dan; (3) affirmative action (IFES, tt:7).

Sistem Pemilu

          Ada banyak sistem pemilu yang dipakai negara-negara demokrasi dalam menyelenggarakan pemilihan umum dan desain dari sistem pemilu tentu berhubungan erat dengan perolehan suara parpol, perolehan suara caleg sampai menjadi perolehan/penetapan kursi.
        Menurut Ben Reilly dan Andrew Reynolds (1998: 3) ada beberapa jenis sistem pemilu yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: pluralitas-mayoritas; semi-proposional dan proposional. Ketiga kelompok besar ini dapat dikelompokkan lagi menjadi sepuluh anak kelompok. Untuk anak kelompok sistem pluralitas-mayoritas terdiri dari : First Past the Post (FPTP), Block Vote (BV), Alternative Vote (AV), Two-Round System (TRS); untuk kelompok sistem semi-proposional terdiri dari Limited Vote (LV), Single Non-Transferable Vote (SNTV); untuk sistem proposional  terdiri dari Representasi Proposional Daftar (RP Daftar), Mixed Member Propotional (MMP), dan Single Transferable Vote (STV).
       
Peran Partai Politik

Dengan pemberian kuota 30% maka mulai kaum perempuan harus mulai berjuang melalui sarana-sarana yang ada. Partai politik merupakan salah satu sarana atau wadah yang sah dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Di sini kaum perempuan harus mampu menunjukkan kemauan dan kemampuannya beraktivitas dalam partai, sehingga performance-nya di situ dapat dipakai sebagai standar penilaian prestasi dan sekaligus sebagai upaya menepis tuduhan bahwa pemberian kuota hanyalah sekedar belas kasihan  kepada kaum perempuan.
Dalam hal ini kaum laki-laki harus rela mengakui hak-hak politik kaum perempuan dan sekaligus menjadikan mereka partner dalam berjuang. Para petinggi partai politik perlu mendukung kaum perempuan untuk berpolitik praktis, apabila mereka mau dan mampu, dengan jalan memberi jabatan-jabatan fungsionaris. Sudah barang tentu cara seperti ini dapat memuluskan jalan bagi kaum perempuan untuk menjadi anggota badan-badan perwakilan (legislatif). Tetapi jika perempuan yang di ajukan sebagai calon legislatif atau untuk mengemban tugas di lembaga eksekutif atau yudikatif atau jabatan-jabatan publik lainnya dinilai tidak layak, maka tidak perlu dipilih karena tidak semua perempuan pantas untuk dipilih.

Affirmative Action

Kuota sebesar 30% sekarang sudah jadi harga mati. Namun, dilihat dari aspek kesiapan kaum perempuan sendiri, nampaknya untuk memenuhi angka tersebut memang tidak mudah karena saat ini jumlah perempuan yang tertarik masuk serta terlibat aktif dalam partai politik terutama yang duduk sebagai fungsionaris masih sedikit.
Dengan demikian, nampaknya kuota bagi kaum perempuan untuk duduk sebagai calon anggota legislatif atau duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan, baik di tingkat pusat maupun daerah, sebesar 30% sudah merupakan ketentuan hukum yang bersifat mengikat. Tetapi tindakan-tindakan affirmative action harus terus dilakukan supaya kuota perempuan dapat terpenuhi sekalipun tidak maksimal.
Hasil Pemilu 1999 sebelum diberlakukannya kuota perempuan maupun Pemilu 2004 sampai Pemilu 2009 yang sudah memberlakukan kuota perempuan ternyata keterwakilan perempuan di Jawa Tengah  belum maksimal. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. berikut ini.

Tabel 1.
Jumlah Keterwakilan Perempuan di DPRD  Provinsi Jawa Tengah
Hasil Pemilu 1999, Pemilu 2004 dan Pemilu 2009
         
Sumber: KPU Jawa Tengah, 2013, diolah (untuk  Pemilu 2004 setelah ada PAW).


Tabel 1. menggambarkan bahwa keterwakilan perempuan pada Pemilu 2004 belum maksimal yaitu dari 100 kursi di DPRD Provinsi Jawa Tengah jumlah anggota perempuannya sebanyak 15 orang (15%) lebih banyak dibandingkan pada Pemilu 1999, yaitu dari 100 kursi di DPRD Provinsi Jawa Tengah, jumlah perempuan yang mendapat kursi sebanyak 16 orang (16%). Namun pada Pemilu 2009 dari 100 kursi di DPRD Provinsi Jawa Tengah, jumlah perempuan yang mendapat kursi sebanyak 21 orang (21%). Maknanya dengan diberlakukaannya kuota perempuan maka jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif naik secara signifikan walaupun belum mencapai target 30%.
Sebagai perbandingan, hasil Pemilu 1955 sebelum diberlakukannya kuota perempuan sampai pada hasil Pemilu 2004 dan hasil Pemilu 2009 yang sudah memberlakukan kuota perempuan ternyata keterwakilan perempuannya juga belum maksimal. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. berikut ini.

Tabel 2.
Jumlah Keterwakilan Perempuan di DPR RI
Pemilu 1955 Sampai Pemilu 2009

Sumber: KPU, 2013, diolah.


Tabel 2. menggambarkan kondisi keterwakilan perempuan di DPR RI sepanjang sejarah sejak Pemilu 1955 sampai Pemilu 1992 trend-nya cukup bagus karena menunjukkan hasil yang positif walaupun lajunya lambat. Tetapi memasuki Pemilu 1997 menunjukkan gejala yang menurun karena hanya 11,60% saja yang duduk di DPR RI dan kondisi yang sangat memprihatinkan justru pada Pemilu 1999 turun menjadi 8,8%. Kemungkinan hal itu disebabkan adanya pergantian era dari orde baru ke era reformasi, sebuah euforia baru di bidang politik dan pada saat yang bersamaan muncul krisis dimensional. Jadi kemungkinan besar banyak perempuan tidak/kurang tertarik untuk terjun di dunia politik karena energinya habis untuk mengurusi krisis.
Dengan demikian sebelum dan sesudah diberlakukannya kuota keterwakilan perempuan sebesar 30%, ternyata perempuan Indonesia yang berhasil menjadi anggota DPR masih jauh dari harapan karena angka keterwakilan perempuan pada Pemilu 2004 hanya berkisar 11,80% dengan jumlah kursi DPR bertambah menjadi 550 dan sistem pemilunya juga berbeda. Sedangkan pada Pemilu 2009 berkisar 18,04% dengan jumlah kursi 560 kursi.
Sedangkan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga DPD sejak Pemilu 2004 sebesar 18,80% kemudian pada Pemilu 2009 naik menjadi 27,20%. Hal ini menunjukkan kenaikkan yang signifikan walau belum mencapai target 30%, tetapi harus terus diperjuangkan/ditingkatkan  (lihat Tabel 3).



Tabel 3.
Jumlah Keterwakilan Perempuan di DPD RI
Pemilu 2004 dan Pemilu 2009

Sumber: KPU, 2013, diolah.


Oleh sebab itu kebijakan affirmatif masih harus diperjuangkan/ditingkatkan mulai dari pusat sampai ke daerah dengan berbagai cara dan strategi supaya perempuan Indonesia dapat mewarnai dunia politik dan tidak kalah bersaing termasuk di dunia Internasional. 
Berdasarkan kondisi di atas ada baiknya juga melihat pada negara-negara demokrasi yang masuk urutan terendah dan tertinggi dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen nasional-majelis rendah (lihat Tabel 4. dan Tabel 5.).

 Tabel 4.
Negara-negara Demokrasi Yang Masuk Urutan Terendah Dalam Hal Keterwakilan Perempuan Di Parlemen Nasional-Majelis Rendah
  
Sumber: IFES, tt: 5, diolah, 2013.

Tabel 4. menggambarkan bahwa keterwakilan perempuan di Moroko, Yaman, Nigeria, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Gambia tersebut dalam pencalonan perempuan di parlemen belum sepenuhnya didukung karena angka keterwakilan perempuannya masih rendah yaitu berkisar antara 0,6% sampai 2%. Hal itu juga didukung oleh sistem pemilu di negara-negara tersebut yang menganut sistem pemilu pluralitas/mayoritas yaitu calon harus memperoleh suara sah terbesar dalam sebuah daerah pemilihan.
Kondisi di enam negara tersebut jika dibandingkan dengan Indonesia (khususnya di Jawa Tengah) jauh lebih bagus walaupun angkanya masih berkisar 10,5% artinya masih jauh dari angka target 30%.
Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara demokrasi yang masuk urutan tertinggi dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen nasional-majelis rendah seperti Swedia, Denmark, Finlandia, Norwegia, Belanda, dan Islandia jelas tertinggal jauh karena angka keterwakilan di negara-negara tersebut berkisar antara 34,90% sampai 42,70% (lihat Tabel 5.).

Tabel 5.
 Negara-negara Demokrasi Yang Masuk Urutan Tertinggi Dalam Hal Keterwakilan Perempuan Di Parlemen Nasional-Majelis Rendah

Sumber: IFES, tt: 5, diolah, 2013.


Tabel 5. di atas menunjukkan bahwa negara-negara demokrasi di Swedia, Denmark, Finlandia, Norwegia, Belanda, dan Islandia dengan berbagai sistem pemilu representasi proposional atau representasi proposional (campuran) telah menunjukkan kiprahnya melalui pemberian kuota baik kuota sukarela maupun kuota wajib sudah melampaui target. Maknanya angka kuota 30% memang diperlukan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang politik.

Strategi Pemetaan Politik   

        Keberadaan perempuan di dunia politik saat ini tentu memerlukan strategi dan bukan hanya sekedar kembang saja. Oleh sebab itu berikut ini disajikan analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities and Threats) yang diperkenalkan oleh Kearns (dalam Salusu, 2004: 356) untuk menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal. Analisis  SWOT digunakan untuk memetakan kekuatan yang digunakan dalam menyusun strategi perempuan di kancah perpolitikan agar tidak terjebak dalam euforia demokrasi.

Kekuatan (Strenghts)

Perempuan di Indonesia, khususnya yang terjun di dunia politik sudah mempunyai dasar hukum yang kuat, yaitu dengan terbitnya; (1) Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1965 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan dan  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor  39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 46 Sistem Pemilu, Kepartaian, Pemilihan Anggota Badan Legislatif, Sistem Pengangkatan di Bidang Eksekutif dan Yudikatif harus menjamin keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan.
Lalu TAP MPR Nomor IV Tahun 2002 yang merekomendasikan kepada Presiden untuk membuat kebijakan, peraturan dan program khusus untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan dengan jumlah minimal 30%.
Tak ketinggalan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Pasal 13 Ayat (3) tentang Partai Politik yang sudah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat (2) pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan, Ayat (5) kepengurusan parpol tingkat nasional disusun dengan menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan dan Pasal 20 kepengurusan parpol tingkat provinsi dan kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% yang diatur dalam AD dan ART parpol masing-masing; (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 65 Ayat (1) tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD yang sudah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD Pasal 8 Ayat (1) Huruf (d) menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat. Selanjutnya Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD Pasal 55 bahwa daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan dan Pasal 56 Ayat (2) di dalam daftar bakal calon diatur setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon (zipper).

Kelemahan (Weaknesses)

       
Faktor kelemahan lainnya adalah perempuan masih takut berpolitik karena politik sering diidentikan dengan kekerasan. Demikian pula pemahaman perempuan terhadap politik juga masih rendah, perempuan tidak percaya pada kepemimpinan perempuan dan perempuan masih diragukan kemampuannya.
Sebagai contoh, ketika tiga perempuan anggota KPU Jawa Tengah 2003-2008 diragukan kemampuannya ternyata sukses menyelenggarakan Pemilu  2004 dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah 2008 serta sukses melakukan  asistensi, supervisi, monitoring dan advokasi Pilkada di 35 Kabupaten/Kota se Jawa Tengah 2005-2008 termasuk kebijakan-kebijakannya yang tidak pernah bias jender.

PELUANG (Opportunities)

Karena keberadaan perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan atau di legislatif harus ada yang mewakili supaya ada perimbangan antara laki-laki dengan perempuan, sehingga kebijakan-kebijakan publik/politik tidak akan bias gender dan justru akan mendinginkan suhu politik yang semakin hari kian memanas, maka untuk merebut kursi legislatif masih ada peluang.
Peluang terbesar yang sekarang dimiliki caleg perempuan yaitu jumlah pemilih perempuan di Jateng jauh lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Data menunjukkan bahwa jumlah pemilih perempuan pada Pemilu 1999 sebesar 50,65% sedangkan jumlah pemilih laki-laki sebesar 49,36% (Sumber: PPD Tingkat I Provinsi Jawa Tengah, 1999). Sedangkan jumlah perempuan yang menggunakan hak pilihnya pada Pileg 2004, Pilpres 2004, Pilgub Jawa Tengah 2008, Pileg 2009, Pilpres 2009 dan Pilgub Jawa Tengah 2013 dapat dilihat pada Tabel  6. berikut ini.

                                                    Tabel 6.
Pemilih Perempuan di Jawa Tengah Yang Menggunakan Hak Pilih

 Sumber: PPD I Jateng, diolah, 1999 & KPU Jateng, diolah, 2013.
Catatan: Jumlah pemilih pada Pileg 2004 tidak dibagi berdasarkan                    jenis  kelamin

Tabel 6. menjelaskan bahwa jumlah pemilih perempuan di Jawa Tengah dalam setiap event pemilihan-pemilihan pejabat politik menunjukkan angka di atas 50%, sejak Pemilu 2004 pada Pilpres Putaran I sebesar 51,90% dan Putaran II sebesar 52,21% jumlah pemilih perempuan naik pada Pilgub Jawa Tengah menjadi sebesar 54,44%. Sebuah angka yang cukup tinggi dan berdasarkan hasil interview di lapangan pasca Pilgub 2008, bahwa kemenangan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dan Rustriningsih merupakan kemenangan kaum perempuan, karena satu-satunya  calon perempuan yang diajukan PDI Perjuangan pada Pilgub Jawa Tengah 2008, sementara 4 (empat) pasangan lainnya laki-laki. Jadi dari segi sosialisasi dan kampanye Pilgub 2008 memang lebih mudah dikenal oleh siapa pun apalagi pada saat mencoblos di TPS lebih jelas bagi perempuan untuk menjatuhkan pilihan, believe it or not, tetapi itulah hasilnya.
Akan tetapi setelah Pilgub 2008, pemilih perempuan mulai menurun, yaitu pada Pileg 2009 sebesar 50,43%, pada Pilpres 2009 pemilih perempuan naik menjadi  50,47%, pada Pilgub 2013 pemilih perempuan turun menjadi 50,30% dan dari 3 pasang calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah tidak ada satu pun yang berjenis kelamin perempuan. Jadi pada Pilgub Jawa Tengah 2013 suara pemilih perempuan di Jawa Tengah bagaikan bola liar.
Besarnya pemilih perempuan perlu dikelola oleh caleg perempuan dan pemilih perempuan pun juga harus turut serta mendukung, supaya affirmative action dapat terwujud sekalipun angka keterwakilan perempuan belum tercapai maksimal.
         
Ancaman (Threats)

        Saat ini ancaman yang dihadapi caleg perempuan antara lain jika bersaing dengan artis, keluarga pejabat, petahana (incumbent) karena rata-rata mereka sudah mempunyai modal sosial maupun modal uang. Ancaman lainnya adalah perempuan yang berkualitas tidak mau maju lagi karena tidak punya uang/modal. Sedangkan di lain pihak partai politik tidak mengadakan kaderisasi bagi perempuan, bahkan dalam memenuhi keterwakilan perempuan 30% nampak seadanya saja sehingga hasilnya ketika terpilih juga tidak maksimal.

Analisis Pemetaan Suara Perempuan

        Pemetaan suara perempuan dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah, yaitu pada Pemilu 2004 ada 15 caleg perempuan yang berada di nomor urut “topi” (nomor urut jadi yaitu nomor 1, 2 dan 3) meraih suara terbanyak dan mendapat kursi.
Tabel 8. Juga menjelaskan caleg perempuan yang memperoleh suara terbanyak dan mendapat kursi di legislatif dan penetapan calonnya berdasarkan nomor urut ada 15 orang dan bervariasi ranking suaranya.
Keuntungan penetapan calon berdasarkan nomor urut, contohnya: caleg Haritsah Yusuf nomor urut 2 dari PKB yang memperoleh 2 kursi  dan memperoleh suara terbanyak ranking 3; caleg Nur Khasanah nomor urut 1 dari PPP yang memperoleh 1 kursi dan memperoleh suara terbanyak ranking 2; Kausar Asovia nomor urut 1 dari PKB yang memperoleh 1 kursi dan memperoleh suara terbanyak ranking 3, mereka bertiga sekalipun ranking suaranya lebih kecil dibandingkan caleg di nomor urut berikutnya, merekalah yang duduk sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah.

Tabel 8.
15 Caleg Perempuan DPRD Provinsi Jawa Tengah Yang Memperoleh Suara Terbanyak Dan Mendapat Kursi Pada Pemilu 2004
Sumber: KPU Jawa Tengah 2004 sebelum ada PAW karena 2007 ada anggota PAW dan diambil dari unsur perempuan (PKS) yang suara terbanyaknya ranking 2, diolah, 2013.

       
        Sedangkan sebelas caleg perempuan yang lain berdasarkan nomor urut 1 dan 2 berhak mendapat kursi berdasarkan jumlah perolehan kursi dari masing-masing parpol dan suara mereka juga masuk dalam ranking terbanyak 1, 2 dan 3. Maknanya mereka memang berhak mendapat kursi karena layak menjadi wakil di daerah pemilihan masing-masing.
        Caleg Novita Wijayanti yang berada di nomor urut 3, dapil 8 dari PDI Perjuangan yang memperoleh 4 kursi ternyata memperoleh suara terbanyak ranking 1. Maknanya caleg ini menunjukkan bahwa ia memang dikenal dan layak dipilih di daerah pemilihannya padahal no urutnya 3.
        Sedangkan Tabel 10 berikut ini menjelaskan 21 caleg perempuan di DPRD Provinsi Jawa Tengah yang mendapat kursi berdasarkan perolehan suara terbanyak pada Pemilu 2009.
Tabel 10.
21 Caleg Perempuan DPRD Provinsi Jawa Tengah Yang     Memperoleh Kursi Berdasarkan Suara Terbanyak
Pada Pemilu 2009
Sumber: KPU Jateng, diolah, 2013.

Tabel 10. menggambarkan peta perolehan suara terbanyak dari 21  caleg perempuan (21%). Mereka memperebutkan 100 kursi di DPRD Jawa Tengah juga menggambarkan kekuatan dukungan para caleg perempuan di dapil masing-masing. Tabel 10 juga menunjukkan kemajuan keterwakilan perempuan yang sekitar 6% dibandingkan Pemilu 2004 (15%). Suara terbanyak mereka juga merata di 10 dapil, hanya dapil 1, 2, 9 dan 10 diwakili masing-masing satu orang. Sedangkan di dapil 3, 4,5,6,7,dan 8 diwakili lebih dari dua orang. Jika dilihat dari nomor urut caleg cukup bervariasi, yaitu pada nomor 1, 2, 3, bahkan ada yang di nomor urut 6. Suara yang diperoleh cukup signifikan dilihat dari ranking perolehan suara sahnya berada diurutan 1, 2 dan 3. Bahkan ada yang memperoleh suara terbanyak tertinggi sebesar 171.914 atas nama Novi Wijayanti dapil 8 dari PDIP.
Dengan demikian caleg perempuan pada Pemilu 2014 harus belajar dari pengalaman caleg perempuan Pemilu 2004 dan Pemilu 2009  walaupun sistemnya berbeda antara Pemilu 2004 dengan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, tetapi informasi mengenai pemetaan suara pasti sangat dibutuhkan dalam upaya menghadapi ancaman suara terbanyak.
Upaya

Upaya efektif yang dapat dilakukan caleg perempuan saat ini adalah: (1) melakukan gerakan secara bersama-sama dengan para aktivis perempuan, para feminis, dan parpol untuk melakukan kampanye politik dengan slogan “sudah waktunya perempuan pilih perempuan”; (2) Parpol pun harus mau membantu caleg perempuan yang selama ini hanya dijadikan kembang demi memenuhi ketentuan 30% atau mereka diajukan karena cantik dan berpredikat selebritis. Jika parpol sungguh-sungguh mengajukan caleg perempuan sebaiknya jangan hanya sekedar dijadikan pemanis saja tetapi mereka betul-betul diberdayakan kalau mereka memang layak dan pantas dipilih, sehingga citra parpol pun dapat meningkat, imbasnya perolehan suara dan perolehan kursi juga akan meningkat, serta dapat mempercepat kesetaraan dan keadilan jender.
       
PENUTUP

Berdasarkan analisis di atas, maka perempuan masih ada peluang untuk memperoleh kursi di parlemen baik berdasarkan nomor urut “topi” (nomor urut 1) atau nomor urut besar karena tetap mempunyai peluang meraih suara terbanyak.
Caleg perempuan yang menempati nomor urut “topi” (nomor kecil) atau nomor urut “sepatu”(nomor urut besar) tetap harus bekerja ekstra untuk mendapatkan suara terbanyak dan tidak perlu khawatir kalau memang sudah mantap dan mempunyai jaringan yang luas karena suara terbanyak sama dengan sistem popular vote. Fakta menunjukkan bagi caleg perempuan yang sudah dikenal dan disukai oleh rakyat pasti akan dipilih.
Perempuan dalam berpolitik perlu menunjukkan kekuatan, kecerdasan dan keluwesan serta keuletan dalam bertindak dan hal ini dimulai semenjak ditingkat paling bawah dan nantinya perlu dilanjutkan terus sampai ke tingkat atas.
Last but not least jadikan tahun 2014 sebagai tahunnya kaum perempuan, walaupun hasilnya belum tentu maksimal tetapi tetap lebih maju.














DAFTAR PUSTAKA

BUKU:
Andrew Reynols & Ben Reily. 2005. The International IDEA Handbook of Electoral System Design. Stockholn: IDEA.
IDEA, United Nation, IFES. tt. Sistem Pemilu.
IFES. tt. Keterwakilan Perempuan di Lembaga-Lembaga Nasional Yang Anggotanya Dipilih Melalui Pemilu: Perbedaan-Perbedaan Dalam Praktek Internasional dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi.
Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik. Jakarta: Grasindo.

NON BUKU:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPRD, DPD, dan DPRD.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPRD, DPD, dan DPRD.




Like This Article ?

0 komentar

Post a Comment

Powered by Blogger.
 
 
Copyright © 2013 UPIPA GOW WONOSOBO - All Rights Reserved
Design By QVAA VEER KHAN - Powered By Blogger